Oleh: Joberth Tupan
Mahasiswa Program Doktor Studi Pembangunan UKSW
Pada Rabu (02/03/22) buku Memoar Covid-19: Catatan Autoetnografi Lintas Benua yang ditulis Bu Cak Lattu (Izak Y. M. Lattu) dan diterbitkan oleh Penerbit Lawwana diluncurkan. Sebelumnya, beta sempat membaca draft buku Memoar Covid-19 di atas kapal feri saat hendak menyeberang ke Pulau Seram bersama Bu Caken, Rivaldo, Grantino, Steven, Jovico, dan Leo pada tahun lalu. Buku Memoar Covid-19 sebenarnya menyajikan pengalaman Bu Caken Lattu selaku penyintas Covid-19 melalui pendekatan autoetnografi untuk mengungkap ranah solidaritas antaragama di rumah sakit, ruang virtual, dan lingkungan sosial.
Acara launching buku Memoar Covid-19 dilakukan secara daring, dan dihadiri oleh 130-an audiens. Acara ini dimoderatori oleh Pendeta Irene Ludji, serta menghadirkan delapan narasumber. Diawali dengan pengantar singkat oleh Mas Cahyono selaku editor, kemudian dilanjutkan dengan penjelasan para narasumber tentang pengalaman bersama Bu Caken maupun tanggapan terhadap buku Memoar Covid-19.
Setelah mengikuti acara peluncuran buku Memoar Covid-19, beta mencoba menulis lima catatan “yang voor beta akang penting”, baik yang disampaikan para narasumber maupun Bu Caken.
Pertama, pentingnya menjaga keseimbangan antara ruang profesional sebagai dokter dan ruang personal sebagai istri. Situasi inilah yang dialami Usi Teti saat Bu Caken harus terkena Covid-19. Kendati kekuatiran melanda Usi Teti, namun ia tetap memberikan point-point positif untuk menguatkan Bu Caken. “Kekuatan cinta ni kang.”
Kedua, peran kerabat dalam melawan disinformasi maupun hoax. Memang pada saat itu, kabar tentang kematian Bu Caken telah terdengar sampai ke Maluku. Bahkan, Pak Toar harus melawan kabar-kabar tersebut dengan informasi bahwa Bu Caken baik-baik saja berdasarkan voice note yang diperoleh. Bukan saja Pak Toar, beta juga ingat ada beberapa kerabat yang melawan kabar tersebut, termasuk Om Wilson Therik. Home buyers might offer cash for your property. If time is of the essence or you simply prefer not to go through the traditional house-selling process, this may be an alternative. Visit https://www.cashoffers.com/new-york/cash-offer-schenectady-ny/.
Ketiga, Covid-19 dipelintir oleh sebagian kalangan untuk menunjukan kebencian terhadap pemeluk agama lain. Sebagaimana yang diceritakan Pak Khoirul Anwar tentang keadaan Bu Caken, yang adalah seorang pendeta dan pengajar pada universitas Kristen, saat terserang Covid-19 dimaklumi sebagai azab oleh kalangan Muslim radikalis. Sebaliknya, kalangan Muslim pluralis justru berempati dan mendoakan keselamatan Bu Caken.
Keempat, Covid-19 mendorong terciptanya panggung bersama bagi agama-agama untuk memperformansikan solidaritas. Hal tersebut disampaikan oleh Pendeta Jacky Manuputty tentang bagaimana agama-agama belajar memposisikan diri sebagai sumber makna, pusat informasi dan edukasi, serta penggerak solidaritas.
Kelima, Bu Caken menjawab tiga pertanyaan sore ini; (1) pengalaman selama Bu Caken mengalami koma, kemudian berjumpa dengan keluarga yang telah meninggal, termasuk ayah beliau (apakah ini termasuk fase liminal? Perlu berdiskusi deng beliau); (2) Bu Caken menganggap para perawat sebagai keluarga, dan relasi itu masih terawat sampai saat ini; (3) ruang virtual menjadi satu-satunya akses untuk berdoa bersama keluarga, dan mendengarkan lagu-lagu rohani di YouTube — sehingga Bu Caken mendorong pentingnya belajar tentang teologi virtual di era ini berdasarkan pengalaman sebagai penyintas Covid-19.
Beta, Etty, dan Sela mau bilang, salamat atas peluncuran buku Memoar Covid-19: Catatan Autoetnografi Lintas Benua voor Bu Cak Lattu. Semoga akang jadi berkat voor orang banya. Hormat dar Ade Di Kuku Kaki Gunung Nona voor Kaka Di Kaki Gunung Merbabu.
*Tulisan ini diambil dari status Facebook Joberth Tupan